PELAYANAN ITU TANDA PERSAUDARAAN
Pernah dalam suatu kesempatan diungkapkan kritik ke salah seorang pemuka agama yang terkenal seperti selibritis, “Bicaramu baik, tetapi kelakuanmu amburadul!” Tokoh itu langsung dengan enteng menjawab, “Masih baik saya omong yang bagus-bagus, tetapi kelakuan saya jelek, dari pada kedua-duanya jeblok!” Rupanya antara kata-kata dan perbuatan sering ada jurang yang dalam sehingga omongan dan perbuatan bisa bertolak belakang. Selain itu, sudah umum berlaku yang namanya pemimpin atau tokoh sering dituntut untuk berbuat lebih dari yang lain. Memang menjadi kecenderungan orang untuk mau “menerima lebih” dengan menikmati kedudukannya sebagai pemimpin tanpa mau “memberi lebih” dengan memberikan keteladanan berupa prestasi kerja yang nyata atau perbuatan-perbuatan baik yang bermanfaat langsung kepada orang lain, termasuk ke anak buahnya.
Yesus justru mengajak semua orang untuk “sama-sama” berbuat. Status sosial, pemimpin- bawahan; bos-anak buah, pemuka agama- umat adalah sama-sama mengabdi. “Janganlah pula kamu disebut pemimpin, karena hanya satu Pemimpinmu, yaitu Mesias” (Mat 23: 10). Mesias sebagai satu2nya pemimpin menggariskan, “Barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu. Dan barang siapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barang siapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan (ayat 11 dan 12). Dengan demikian unsur pelayananlah yang menjadikan seseorang itu besar atau kecil; pemimpin atau bawahan; tokoh atau orang biasa. Tanpa pelayanan, jabatan formal dengan segala symbol kebesaran berupa pangkat dan busana menjadi tidak relevan.
Pelayanan bukan hanya kata-kata, pidato atau sekedar niat baik atau janji-janji. Pelayanan adalah perbuatan konkrit hari ini untuk membantu yang sedang susah, sakit, miskin, tertimpa bencana, tersingkirkan, atau mereka yang membutuhkan pertolongan segera. Pelayanan adalah kata kunci misi perutusan Yesus dan misi seluruh Gereja. Kuantitas (jumlah) dan kualitas (pengorbanan yang dikeluarkan) menjadi identitas pengikut Yesus, yang mengakui bahwa Tuhan adalah Bapa yang di Surga dan “kamu semua adalah saudara”. Oleh karena itu, pertanyaan kita setiap pagi, “Siapa yang hari ini harus saya layani?” Dalam suasana persaudaraan, karena saling melayani dan tolong menolong dalam keluarga, lingkungan, di jalan atau kantor, kita semua akan mengalami bahwa Allah Bapa itu sungguh baik. Bapa yang membimbing kita seperti Gembala yang Baik sehingga kita mengalami padang rumput yang hijau dengan kelimpahan rasa damai dan sejahtera dalam hati dan hidup kita. Marilah kita merasakan damai sejahtera itu dengan saling melayani





Rupanya membayar pajak selalu menjadi kontroversi (perbantahan) sejak dahulu kala. Apalagi bagi orang beragama yang mengaku hanya mau menyembah Tuhan YME sebagai satu-satunya Allah. Santo Agustinus membedakan dengan jelas antara civitas Dei (kota atau “wilayah” Tuhan) dan civitas terrena (kota dunia). Jadi, ada pembedaan yang jelas antara Tuhan dan Dunia. Membayar pajak dipandang sebagai mengakui kekuasaan lain selain Kuasa Tuhan sebagai satu-satunya Pemilik manusia dan dunianya. Sebagian orang Yahudi memang tidak mau membayar pajak kepada kaisar, karena dipandang mengakui ketundukan kepada penjajah Romawi. Sekarang ini pun, tetap ada pro dan kontra tentang membayar pajak “dengan jujur”. Ada kekhawatiran uang pajak itu disalah-gunakan atau dimanipulasi bukan untuk kepentingan masyarakat atau kepentingan negara, tetapi kepentingan pribadi atau kelompok.